Jumat, 07 Desember 2012
Refrigerasi
Bagaimana cara kerja sistem AC sehingga mampu memberikan efek pendingin dalam ruangan Anda? AC alias Air Conditioner alias Pengkondision Udara merupakan seperangkat alat yang mampu mengkondisikan ruangan yang kita inginkan, terutama mengkondisikan ruangan menjadi lebih rendah suhunya dibanding suhu lingkungan sekitarnya. Seperangkat alat tersebut diantaranya kompresor, kondensor, orifice tube, evaporator, katup ekspansi, dan evaporator dengan penjelasan sebagai berikut :
Kompresor :
Kompresor adalah power unit dari sistem sebuah AC. Ketika AC dijalankan, kompresor mengubah fluida kerja/refrigent berupa gas dari yang bertekanan rendah menjadi gas yang bertekanan tinggi. Gas bertekanan tinggi kemudian diteruskan menuju kondensor.
Kondensor :
Kondensor adalah sebuah alat yang digunakan untuk mengubah/mendinginkan gas yang bertekanan tinggi berubah menjadi cairan yang bertekanan tinggi. Cairan lalu dialirkan ke orifice tube.
Orifice Tube :
di mana cairan bertekanan tinggi diturunkan tekanan dan suhunya menjadi cairan dingin bertekanan rendah. Dalam beberapa sistem, selain memasang sebuah orifice tube, dipasang juga katup ekspansi.
Katup ekspansi :
Katup ekspansi, merupakan komponen terpenting dari sistem. Ini dirancang untuk mengontrol aliran cairan pendingin melalui katup orifice yang merubah wujud cairan menjadi uap ketika zat pendingin meninggalkan katup pemuaian dan memasuki evaporator/pendingin
Evaporator/pendingin :
refrigent menyerap panas dalam ruangan melalui kumparan pendingin dan kipas evaporator meniupkan udara dingin ke dalam ruangan. Refrigent dalam evaporator mulai berubah kembali menjadi uap bertekanan rendah, tapi masih mengandung sedikit cairan. Campuran refrigent kemudian masuk ke akumulator / pengering. Ini juga dapat berlaku seperti mulut/orifice kedua bagi cairan yang berubah menjadi uap bertekanan rendah yang murni, sebelum melalui kompresor untuk memperoleh tekanan dan beredar dalam sistem lagi. Biasanya, evaporator dipasangi silikon yang berfungsi untuk menyerap kelembapan dari refrigent.
Jadi, cara kerja sistem AC dapat diuraikan sebagai berkut :
Kompresor yang ada pada sistem pendingin dipergunakan sebagai alat untuk memampatkan fluida kerja (refrigent), jadi refrigent yang masuk ke dalam kompresor dialirkan ke condenser yang kemudian dimampatkan di kondenser.
Di bagian kondenser ini refrigent yang dimampatkan akan berubah fase dari refrigent fase uap menjadi refrigent fase cair, maka refrigent mengeluarkan kalor yaitu kalor penguapan yang terkandung di dalam refrigent. Adapun besarnya kalor yang dilepaskan oleh kondenser adalah jumlahan dari energi kompresor yang diperlukan dan energi kalor yang diambil evaparator dari substansi yang akan didinginkan.
Pada kondensor tekanan refrigent yang berada dalam pipa-pipa kondenser relatif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan refrigent yang berada pada pipi-pipa evaporator.
Setelah refrigent lewat kondenser dan melepaskan kalor penguapan dari fase uap ke fase cair maka refrigent dilewatkan melalui katup ekspansi, pada katup ekspansi ini refrigent tekanannya diturunkan sehingga refrigent berubah kondisi dari fase cair ke fase uap yang kemudian dialirkan ke evaporator, di dalam evaporator ini refrigent akan berubah keadaannya dari fase cair ke fase uap, perubahan fase ini disebabkan karena tekanan refrigent dibuat sedemikian
rupa sehingga refrigent setelah melewati katup ekspansi dan melalui evaporator tekanannya menjadi sangat turun.
Hal ini secara praktis dapat dilakukan dengan jalan diameter pipa yang ada dievaporator relatif lebih besar jika dibandingkan dengan diameter pipa yang ada pada kondenser.
Dengan adanya perubahan kondisi refrigent dari fase cair ke fase uap maka untuk merubahnya dari fase cair ke refrigent fase uap maka proses ini membutuhkan energi yaitu energi penguapan, dalam hal ini energi yang dipergunakan adalah energi yang berada di dalam substansi yang akan didinginkan.
Dengan diambilnya energi yang diambil dalam substansi yang akan didinginkan maka enthalpi [*] substansi yang akan didinginkan akan menjadi turun, dengan turunnya enthalpi maka temperatur dari substansi yang akan didinginkan akan menjadi turun. Proses ini akan berubah terus-menerus sampai terjadi pendinginan yang sesuai dengan keinginan.
Dengan adanya mesin pendingin listrik ini maka untuk mendinginkan atau menurunkan temperatur suatu substansi dapat dengan mudah dilakukan.
Perlu diketahui :
Kunci utama dari AC adalah refrigerant, yang umumnya adalah fluorocarbon [**], yang mengalir dalam sistem, menjadi cairan dan melepaskan panas saat dipompa (diberi tekanan), dan menjadi gas dan menyerap panas ketika tekanan dikurangi. Mekanisme berubahnya refrigerant menjadi cairan lalu gas dengan memberi atau mengurangi tekanan terbagi mejadi dua area: sebuah penyaring udara, kipas, dan cooling coil (kumparan pendingin) yang ada pada sisi ruangan dan sebuah kompresor (pompa), condenser coil (kumparan penukar panas), dan kipas pada jendela luar.
Udara panas dari ruangan melewati filter, menuju ke cooling coil yang berisi cairan refrigerant yang dingin, sehingga udara menjadi dingin, lalu melalui teralis/kisi-kisi kembali ke dalam ruangan. Pada kompresor, gas refrigerant dari cooling coil lalu dipanaskan dengan cara pengompresan. Pada condenser coil, refrigerant melepaskan panas dan menjadi cairan, yang tersirkulasi kembali ke cooling coil. Sebuah thermostat [***] mengontrol motor kompresor untuk mengatur suhu ruangan.
[*] Entalphi adalah istilah dalam termodinamika yang menyatakan jumlah energi internal dari suatu sistem termodinamika ditambah energi yang digunakan untuk melakukan kerja.
[**] Fluorocarbon adalah senyawa organik yang mengandung 1 atau lebih atom Fluorine. Lebih dari 100 fluorocarbon yang telah ditemukan. Kelompok Freon dari fluorocarbon terdiri dari Freon-11 (CCl3F) yang digunakan sebagai bahan aerosol, dan Freon-12 (CCl2F2), umumnya digunakan sebagai bahan refrigerant. Saat ini, freon dianggap sebagai salah satu penyebab lapisan Ozon Bumi menajdi lubang dan menyebabkan sinar UV masuk. Walaupun, hal tersebut belum terbukti sepenuhnya, produksi fluorocarbon mulai dikurangi.
[***] Thermostat pada AC beroperasi dengan menggunakan
lempeng bimetal yang peka terhadap perubahan suhu ruangan. Lempeng ini terbuat dari 2 metal yang memiliki koefisien pemuaian yang berbeda. Ketika temperatur naik, metal terluar memuai lebih dahulu, sehingga lempeng membengkok dan akhirnya menyentuh sirkuit listrik yang menyebabkan motor AC aktif/jalan.
Perkembangan Terkini Teknologi Refrigerasi (1)
Sumber: Berita Iptek Topik: Mesin Tags: lemari pendingin, Teknologi Refrigerasi
Siklus refrigerasi merupakan sebuah mekanisme berupa siklus yang mengambil energi (termal) dari daerah bertemperatur rendah dan dibuang ke daerah bertemperatur tinggi. Siklus ini berlawanan dengan proses spontan yang terjadi sehari-hari, maka diperlukan masukan energi untuk menjalankan siklus refrigerasi. Teknologi refrigerasi sangat erat terkait dengan kehidupan dunia modern; bukan hanya pada sisi peningkatan kualitas dan kenyamanan hidup, namun juga menyentuh hal-hal esensial penunjang kehidupan manusia. Teknologi refrigerasi dibutuhkan untuk meminimalkan, bahkan bisa meniadakan, pertumbuhan mikroorganisme perusak bahan-bahan tertentu; maka teknologi ini dibutuhkan keberadaannya di bidang penyimpanan dan transportasi bahan makanan.
Mesin refrigerasi saat ini dengan mudah kita jumpai di berbagai swalayan yang menjual bahan kebutuhan sehari-hari. Truk berpendingin sudah menjadi kebutuhan umum guna mentransportasikan bahan makanan melalui jarak yang cukup jauh. Selain meminimalkan atau meniadakan pertumbuhan mikroorganisme, pendinginan yang dihasilkan oleh teknologi refrigerasi juga diperlukan untuk mencegah terjadinya reaksi kimiawi/biologis yang bisa merusak kondisi suatu zat. Maka teknologi ini juga menjadi tuntutan di bidang kedokteran (penyimpanan vaksin, obat-obatan, hingga cadangan darah). Dukungan mesin refrigerasi terhadap kemajuan iptek jelas terlihat dari keberadaan mesin ini di berbagai instalasi penting berbagai bidang; biologi, kimia, kedokteran, dsb. Teknologi refrigerasi bukan hanya monopoli perusahaan besar ataupun institusi ilmiah, mesin ini, dalam bentuk lemari pendingin (refrigerator) dan pengkondisi udara (AC) umum dijumpai di tengah-tengah masyarakat. Bukan sekedar gaya hidup, karena mesin refrigerasi berfungsi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
Pengkondisian udara merupakan salah satu aplikasi penting teknologi refrigeras
Pengkondisian udara merupakan salah satu aplikasi penting teknologi refrigerasi. Teknologi ini bisa menghasilkan dua hal esensial yang diperlukan dalam pengkondisan udara; yakni pendinginan (cooling) dan pemanasan (heating). Pengkondisian udara adalah usaha untuk mengatur temperatur dan kelembaban udara agar menghasilkan kenyamanan termal (thermal comfort) bagi manusia. Pengkondisian udara lengkap meliputi pemanasan (heating), pendinginan (cooling), pengaturan kelembaban (humidifying dan dehumidifying), dan pertukaran udara (ventilating). Sedangkan pengkondisian udara skala kecil umumnya dilakukan tanpa mengikutsertakan pengaturan kelembaban. Pengkondisian udara saat ini telah menjadi standard bangunan, publik ataupun privat dalam berbagai skala, di berbagai penjuru dunia. Untuk daerah yang mengalami empat musim, terjadi perubahan fungsi pengkondisian udara dari pemanasan (heating) pada saat musim dingin menjadi pendinginan (cooling) pada saat musim panas. Sedangkan pada daerah khatulistiwa seperti Indonesia, pada umumnya fungsi pengkondisian udara adalah pada mode pendinginan saja. Mesin pengkondisian udara yang bekerja sebagai pendingin biasanya disebut sebagai AC (Air Conditioning), sedangkan pada saat bekerja sebagai pemanas disebut sebagai pompa kalor (heat pump). Kedua fungsi tersebut bisa menyatu dalam satu mesin (mesin refrigerasi), bisa juga terpisah menjadi dua bagian; tergantung pada mekanisme yang digunakan.
1. Masalah kontemporer yang mempengaruhi perkembangan mesin pengkondisian udara
Dewasa ini banyak diserukan pentingnya penghematan energi di berbagai penjuru dunia. Hal tersebut dipicu oleh kekhawatiran semakin menipisnya cadangan minyak dunia, sementara pada saat yang sama, manusia belum mampu menemukan bahan bakar pengganti yang memiliki kemampuan dan ketersediaan yang setara dengan minyak bumi. Di sisi lain, permintaan minyak dunia terus meningkat sebesar 1 2% pertahun (Kerr dan Service, 2005). Kombinasi faktor-faktor tersebut menyebabkan ketidakstabilan harga minyak bumi. Selain itu, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) mengakibatkan akibat buruk lain bagi bumi, yakni efek rumah kaca (greenhouse) yang disebabkan oleh peningkatan jumlah karbon dioksida (CO2) di atmosfer.
Kebutuhan energi pada mesin refrigerasi / pengkondisian udara terhadap pasokan listrik nasional cukup signifikan. Di Shanghai, Saito (2002) mengemukakan bahwa pada beban puncak di musim panas, pengkondisian udara mengkonsumsi 1/3 suplai listrik. Suzuki dkk (2005) memperkirakan bahwa beban listrik untuk mesin pengkondisian udara mengkonsumsi tidak kurang dari 1/5 suplai listrik di Jepang. Untuk belahan Amerika Utara, Todesco (2005) menyatakan bahwa kebuhan listrik untuk mesin pengkondisian udara pada beban puncak mencapai 3.6 9.2 GW –bandingkan dengan kemampuan PT PLN yang sekitar 39.5 GW (Seymour dkk (2002). Sedangkan di Indonesia, Suwono (2005) menyebut sekitar 60% konsumsi listrik hotel di Bandung digunakan untuk memasok energi mesin pengkondisian udara. Oleh karena itu, usaha penghematan energi yang dilakukan terhadap mesin pengkondisian udara akan berdampak signifikan terhadap usaha penghematan energi dunia.
Hipotesis yang disampaikan oleh Molina dan Rowland (1974) mengenai dampak buruk chlorofluoromethane (CFC) terhadap lapisan ozon mencetuskan babak baru dalam dunia pengkondisian udara. Verifikasi yang dilakukan berbagai penelitian yang dibiayai beberapa perusahaan penghasil refrigerant (bahan yang digunakan dalam mesin refrigerasi/mesin pendingin) pada akhir 1970-an menghasilkan temuan yang mendukung hipotesis Molina dan Rowland. Diperkirakan terjadi perusakan lapisan ozon sekitar 3% per-dekade. Lapisan ozon yang terdapat di daerah stratosphereberfungsi untuk menghalangi masuknya sinar ultraviolet-B ke permukaan bumi (Calm, 2002). Sinar ultraviolet-B ini ditengarai akan menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan gangguan pada tumbuhan di permukaan bumi. Setelah sebuah ekspedisi dari Inggris ke daerah Antartika mengindikasikan adanya kerusakan parah pada lapisan ozon (Farman dkk., 1985), dunia segera mengambil langkah serius untuk mencegah bertambah parahnya kerusakan lapisan ozon. Protokol Montreal tahun 1987 mengatur penggunaan dan penghapusan berbagai zat yang ditengarai menyebabkan kerusakan lapisan ozon; refrigerant CFC termasuk salah satu diantaranya. Protokol Montreal dan berbagai amandemennya mengamanatkan penghapusan CFCs di negara maju pada tahun 1996, sedangkan untuk negara berkembang pada tahun 2010 (United Nations for Environment Programme, 2000). Pada lapisan stratosphere secara alamiah terjadi proses pembentukan dan penghancuran molekul ozon (O3) oleh sinar ultraviolet. Keberadaan atom chlorine (Cl) menyebabkan kesetimbangan reaksi tersebut terganggu. Kerusakan lapisan ozon akibat chlorine (Cl) dijelaskan melalui reaksi kimia berantai berikut:
O3 + UV → O* + O2
Cl + O3 → ClO + O2
ClO + O*→ Cl + O2
Cl + O3 → ClO + O2
ClO + O* → Cl + O2
. . .
Mayoritas ilmuwan dunia meyakini bahwa pemanasan global yang terjadi belakangan ini diakibatkan oleh gas-gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia (Oreskes, 2002). Selain berkontribusi pada produksi CO2melalui system pembangkit energi untuk suplai listrik mesin refrigerasi, teknologi refrigerasi juga berkontribusi langsung pada pemanasan global melalui kebocoran dan buangan refrigeran (yang bersifat gas rumah kaca) ke lingkungan. Terkait dengan hal ini, Protokol Kyoto tahun 1997 tentang perubahan iklim bumi telah mengatur penggunaan refrigerant yang termasuk dalam gas rumah kaca, yakni HFCs (Hidro Fluoro Carbons). Gas-gas yang memiliki potensi efek rumah kaca dikategorikan dalam zat GWP (Global Warming Potential), sedangkan zat perusak lapisan ozon disebut sebagai ODS (Ozon Depleting Substance).
Dengan demikian, terdapat tiga hal yang mempengaruhi perkembangan mesin refrigerasi saat ini, yakni: (1) Penghematan energi, (2) Tuntutan refrigerant non-ODS, dan (3) Tuntutan refrigerant non-GWP. Perlu diketahui bahwa efek GWP dan ODS pada zat refrigerant hanya terjadi bila zat tersebut terlepas ke atmosfer yang disebabkan kebocoran pada mesin refrigerasi ataupun penggantian dan recycling refrigerant. Di luar sistem refrigerasi, CFC juga digunakan dalam berbagai aplikasi lain seperti zat pendorong (propellant), aerosol, zat pengembang, dll. Guna menjawab tiga kebutuhan terkait dengan perkembangan teknologi refrigerasi di atas, ilmuwan dan teknolog melakukan berbagai inovasi yang pada umumnya terkategorikan dalam tiga hal: (1) Perbaikan prestasi dan karakteristik mesin refrigerasi yang telah eksis, (2) Penelitian guna menghasilkan refrigerant non-ODS dan non-GWP, dan (3) Pencarian teknologi refrigerasi alternatif.
1.1 Perbaikan prestasi dan karakteristik mesin refrigerasi/pengkondisian udara
Saat ini mesin refrigerasi yang paling banyak digunakan di dunia adalah dari jenis siklus kompresi uap. Sistem lain, seperti sistem magneto-kalorik, absorbsi, adsorpsi, dan efek Siebeck hingga saat ini masih terbatas penggunaannya. Mesin refrigerasi siklus kompresi uap memiliki fleksibilitas penggunaan, yakni bisa berfungsi sebagai mesin pendingin (AC) ataupun pompa kalor (heat pump) dengan mengubah arah aliran refrigerannya. Mesin refrigerasi jenis ini juga berukuran cukup kompak, sehingga tidak memerlukan ruang yang besar. Di bawah ini akan dijelaskan prinsip kerja mesin refrigerasi siklus kompresi uap.
Mesin refrigerasi kompresi uap terdiri atas empat komponen utama, yakni kompresor, kondensor, katup ekspansi, dan evaporator. Kondensor dan evaporator sesungguhnya merupakan penukar kalor (heat exchanger) yang berfungsi mempertukarkan kalor diantara dua fluida, yakni antara refrigerantdengan fluida luar (bisa berupa air ataupun udara). Skema mesin refrigerasi ini dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Skema mesin refrigerasi siklus kompresi uap
Sedangkan diagram tekanan-entalpi yang menjelaskan proses pada mesin refrigerasi siklus kompresi uap bisa dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram tekanan-entalpi pada proses refrigerasi siklus kompresi uap
Pada proses 1-2, kompresor menaikkan tekanan uap refrigerant. Kenaikan tekanan ini diikuti dengan kenaikan temperatur uap refrigerant. Pada tingkat keadaan (TK) 2, uap refrigerant berada pada kondisi uap super-panas. Pada proses 2-3, uap refrigerant memasuki kondensor dan mendapatkan pendinginan dari kondensor. Pendinginan ini terjadi akibat pertukaran panas antara uap refrigerant dengan fluida luar (misalnya udara lingkungan ataupun air pendingin). Refrigerant keluar dari kondensor pada TK 3 dalam kondisi cair jenuh, atau bisa juga pada kondisi cair sub-dingin. Refrigerantkemudian memasuki katup ekspansi. Katup ekspansi ini pada prinsipnya berupa penyempitan daerah aliran yang berakibat pada penurunan tekanan fluida secara drastis. Idealnya, refrigerant melalui katup ekspansi (proses 3-4) secara iso-entalpi (isentalpi). Pada TK 4, refrigerant berada dalam kondisi campuran cair dan uap. Karena refrigerant berada pada tekanan jenuhnya (tekanan penguapan), maka dia akan mengalami penguapan; hukum alam menyatakan bahwa penguapan membutuhkan energi, terjadilah penyerapan energi termal dari luar evaporator yang menyebabkan efek pendinginan oleh mesin refrigerasi.
Pada mesin refrigerasi siklus kompresi uap, fungsi kondensor dan evaporator bisa dibalik dengan mengubah arah aliran refrigerant. Dengan demikian, mesin ini bisa berfungsi sebagai pendingin di musim panas dan pemanas di musim dingin. Pada saat berfungsi sebagai mesin pendingin, umumnya mesin ini disebut sebagai mesin AC (Air Conditioning) dan saat berfungsi sebagai mesin pemanas, mesin ini disebut sebagai heat pump(pompa kalor). Prestasi AC dapat dinyatakan dengan:
COP (tak bersatuan) singkatan dari Coefficient of Performance, QE adalah perpindahan panas pada evaporator, dan WC adalah kerja kompresor. Persamaan (1) menyatakan prestasi AC pada satu saat tertentu. Prestasi AC dalam kurun waktu yang lama, misalnya selama musim panas, dinyatakan dalam SEER (Seasonal Energy Efficiency Ratio). SEER memiliki bentuk yang sama dengan Persamaan (1), hanya berbeda pada satuan SEER, yakni Btu.h/Watt.
Sedangkan untuk pompa kalor, prestasi mesin refrigerasi dapat dinyatakan dengan:
PF (besaran tak bersatuan) singkatan dari Performance Factor dan QK adalah perpindahan panas pada kondensor. Sama halnya dengan AC, untuk menunjukkan prestasi pompa kalor pada waktu yang lama, misalnya dalam satu kurun musim dingin, orang bisa menggunakan HSPF (Heating Seasonal Performance Factor). HSPF memiliki satuan yang sama dengan SEER.
Beberapa perbaikan karakteristik yang telah dilakukan terhadap mesin refrigerasi siklus kompresi uap konvensional akan dijelaskan pada bagian ke-2 tulisan ini.
Perkembangan Teknologi di Bidang Refrigeran
Refrigeran adalah fluida kerja yang bersirkulasi dalam siklus refrigerasi. Refrigeran merupakan komponen terpenting siklus refrigerasi karena dialah yang menimbulkan efek pendinginan dan pemanasan pada mesin refrigerasi. Seperti telah dijelaskan pada Bagian 1, masalah kontemporer yang menghadang refrigeran adalah munculnya lubang ozon dan pemanasan global.
ASHRAE (2005) mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja di dalam mesin refrigerasi, pengkondisian udara, dan sistem pompa kalor. Refrigeran menyerap panas dari satu lokasi dan membuangnya ke lokasi yang lain, biasanya melalui mekanisme evaporasi dan kondensasi. Calm (2002) membagi perkembangan refrigeran dalam 3 periode: Periode pertama, 1830-an hingga 1930-an, dengan kriteria refrigeran “apa pun yang bekerja di dalam mesin refrigerasi”. Refrigeran yang digunakan dalam periode ini adalah ether, CO2, NH3, SO2, hidrokarbon, H2O, CCl4, CHCs. Periode ke-dua, 1930-an hingga 1990-an menggunakan kriteria refrigeran: aman dan tahan lama (durable). Refrigeran pada periode ini adalah CFCs (Chloro Fluoro Carbons), HCFCs (Hydro Chloro Fluoro Carbons), HFCs (Hydro Fluoro Carbons), NH3, H2O. Periode ke-tiga, setelah 1990-an, dengan kriteria refrigeran “ramah lingkungan”. Refrigeran pada periode ini adalah HCFCs, NH3, HFCs, H2O, CO2.
Perkembangan mutakhir di bidang refrigeran utamanya didorong oleh dua masalah lingkungan, yakni lubang ozon dan pemanasan global. Sifat merusak ozon yang dimiliki oleh refrigeran utama yang digunakan pada periode ke-dua, yakni CFCs, dikemukakan oleh Molina dan Rowland (1974) yang kemudian didukung oleh data pengukuran lapangan oleh Farman dkk. (1985). Setelah keberadaan lubang ozon di lapisan atmosfer diverifikasi secara saintifik, perjanjian internasional untuk mengatur dan melarang penggunaan zat-zat perusak ozon disepakati pada 1987 yang terkenal dengan sebutan Protokol Montreal. CFCs dan HCFCs merupakan dua refrigeran utama yang dijadwalkan untuk dihapuskan masing-masing pada tahun 1996 dan 2030 untuk negara-negara maju (United Nation Environment Programme, 2000). Sedangkan untuk negara-negara berkembang, kedua refrigeran utama tersebut masing-masing dijadwalkan untuk dihapus (phased-out) pada tahun 2010 (CFCs) dan 2040 (HCFCs) (Powell, 2002). Pada tahun 1997, Protokol Kyoto mengatur pembatasan dan pengurangan gas-gas penyebab rumah kaca, termasuk HFCs (United Nation Framework Convention on Climate Change, 2005).
Powell (2002) menerangkan bebeapa syarat yang harus dimiliki oleh refrigeran pengganti, yakni:
1.Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrige
1.Memiliki sifat-sifat termodinamika yang berdekatan dengan refrigeran yang hendak digantikannya, utamanya pada tekanan maksimum operasi refrigeran baru yang diharapkan tidak terlalu jauh berbeda dibandingkan dengan tekanan refrigeran lama yang ber-klorin.
2.Tidak mudah terbakar.
3.Tidak beracun.
4.Bisa bercampur (miscible) dengan pelumas yang umum digunakan dalam mesin refrigerasi.
5.Setiap refrigeran CFC hendaknya digantikan oleh satu jenis refrigeran ramah lingkungan.
Setelah periode CFCs, R22 (HCFC) merupakan refrigeran yang paling banyak digunakan di dalam mesin refrigerasi dan pengkondisian udara. Saat ini beberapa perusahaan pembuat mesin-mesin refrigerasi masih menggunakan refrigeran R22 dalam produk-produk mereka. Meski refrigeran ini, termasuk juga refrigeran jenis HCFCs lainnya, dijadwalkan untuk dihapuskan pada tahun 2030 (untuk negara maju), namun beberapa negara Eropa telah mencanangkan jadwal yang lebih progresif, misalnya Swedia telah melarang penggunaan R22 dan HCFCs lainnya pada mesin refrigerasi baru sejak tahun 1998, sedangkan Denmark dan Jerman mengijinkan penggunaan HCFCs pada mesin-mesin baru hanya hingga 31 Desember 1999 (Kruse, 2000).
Protokol Montreal memaksa para peneliti dan industri refrigerasi membuat refrigeran sintetis baru, HFCs (Hydro Fluoro Carbons) untuk menggantikan refrigeran lama yang ber-klorin yang dituduh menjadi penyebab rusaknya lapisan ozon. Weatherhead dan Andersen (2006) mengemukakan bahwa sejak 8 tahun terakhir, penipisan kolom lapisan ozon tidak terjadi lagi. Kedua peneliti ini meyakini akan terjadinya pemulihan lapisan ozon. Meski demikian, keduanya tidak secara jelas merujuk turunnya penggunaan zat perusak ozon sebagai penyebab pulihnya lapisan ozon. Powell (2002) menyebutkan bahwa adanya kerjasama yang sangat baik antara produser refrigeran dan perusahaan pengguna refrigeran telah memungkinkan terjadinya transisi mulus dari era penggunaan CFCs secara besar-besaran di 1986 hingga penghapusan dan penggantiannya dengan R134a di tahun 1996. Banyak kalangan menyebutkan bahwa Protokol Montreal adalah salah satu perjanjian internasional di bidang lingkungan yang paling berhasil diterapkan.
Saat ini, HCFCs (yang pada dasarnya merupakan pengganti transisional untuk CFCs) telah memiliki 2 kandidat pengganti, yakni R410A (campuran dengan sifat mendekati zeotrop) dan R407C (campuran azeotrop) (Kruse, 2000). Hidrokarbon Propana (R290) juga berpotensi menjadi pengganti R22 (Kruse, 2000). R407C merupakan campuran antara R32/125/132a dengan komposisi 23/25/52, sedangkan R410A adalah campuran R32/125 dengan komposisi 50/50 (ASHRAE, 2005). Saat ini, beberapa perusahaan terkemuka di bidang refrigerasi dan pengkonsian udara telah menggunakan R410A dalam produk mereka.
Jika Protokol Montreal dan Kyoto dilaksanakan secara penuh dan konsisten, maka secara umum pada saat ini belum ada pilihan refrigeran komersial selain refrigeran alami. Meskipun perlu dicatat bahwa baru-baru ini terdapat produsen refrigeran yang mengklaim keberhasilannya membuat refrigeran yang tidak merusak ozon dan tidak menimbulkan pemanasan global (ASHRAE, 2006). Beberapa refrigeran alami yang sudah digunakan pada mesin refrigerasi adalah: amonia (NH3), hidrokarbon (HC), karbondioksida (CO2), air, dan udara (Riffat dkk., 1997). Kata “alami” menekankan keberadaan zat-zat tersebut yang berasal dari sumber biologis atapun geologis; meskipun saat ini beberapa produk refrigeran alami masih didapatkan dari sumber daya alam yang tidak terbarukan, misalnya hidrokarbon yang didapatkan dari oil-cracking, serta amonia dan CO2 yang didapatkan dari gas alam (Powell, 2002).
Penggunaan karbondioksida, air, dan udara pada refrigerator komersial masih memerlukan riset yang mendalam, sedangkan penggunaan amonia dan hidrokarbon, meskipun sudah cukup banyak dilakukan, masih memiliki peluang riset yang cukup banyak (Riffat dkk., 1997). Amonia bersifat racun (toxic) dan cukup mudah terbakar, sedangkan hidrokarbon termasuk dalam zat yang sangat mudah terbakar; oleh karena itu refrigeran tersebut secara umum sulit digunakan pada sistem ekspansi langsung. Sistem refrigerasi tak-langsung bisa digunakan untuk mengatasi kelemahan kedua refrigeran tersebut. Beberapa peneliti berusaha menekan tingkat keterbakaran refrigeran hidrokarbon dengan cara mencampurkannya bersama refrigeran lain yang tak mudah terbakar (Pasek dkk., 2006; Sekhar dkk., 2004; Dlugogorsky dkk., 2002). Granryd (2001) menekankan bahwa pada dasarnya sudah tersedia teknologi untuk meningkatkan keamanan pada sistem refrigerasi yang menggunakan refrigeran hidrokarbon, namun cara yang ekonomis untuk membuat sistem tersebut aman dan terbukti dapat digunakan dalam skala luas masih perlu dikembangkan lebih lanjut.
Teknologi Refrigerasi Alternatif
Munculnya beberapa permasalahan pada refrigerasi siklus kompresi uap dalam dekade belakangan ini membuat beberapa peneliti berusaha memunculkan sistem refrigerasi alternatif yang tidak mengandung permasalahan serupa. Teknologi alternatif tersebut diantaranya adalah refrigerasi sistem absorpsi, adsorpsi padatan (solid adsorption), dan efek magnetokalorik. Sistem absorpsi dan adsorpsi padatan tidak menggunakan refrigeran yang merusak ozon dan menimbulkan pemanasan global, serta bisa memanfaatkan panas matahari ataupun panas buangan; sedangkan refrigerasi sistem efek magnetokalorik sama sekali tidak menggunakan refrigeran primer.
Refrigerasi Siklus Absorpsi
Refrigerasi absorpsi merupakan siklus yang digerakkan oleh energi termal. Berbeda dengan sistem refrigerasi konvensional, energi mekanik yang diperlukan oleh refrigerasi absorpsi sangat kecil. Diagram refrigerasi absorpsi efek tunggal dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini:
Gambar 1 Diagram siklus refrigerasi absorpsi efek tunggal
Pada Gambar 4, QA adalah perpindahan panas dari absorber, WPump kerja yang diperlukan pompa, QG adalah perpindahan panas yang diperlukan oleh generator, QC adalah perpindahan panas dari kondenser, dan QE adalah panas yang diserap oleh evaporator. Penukar kalor yang terdapat di dalam siklus absorpsi berfungsi untuk meningkatkan temperatur larutan sebelum memasuki generator, sehingga bisa menghemat energi.
Seperti halnya siklus refrigerasi kompresi uap, efek pendinginan pada siklus absorpsi juga terjadi pada sisi evaporator. Untuk menggantikan kompresor seperti yang digunakan di dalam siklus kompresi uap, digunakan tiga komponen di dalam siklus absorpsi; yakni absorber, pompa, dan generator. Absorber berfungsi untuk menyerap uap refrigeran ke dalam absorben, sehingga keduanya bercampur menjadi larutan. Karena reaksi di dalam absorber adalah eksotermik (mengeluarkan panas), maka perlu dilakukan proses pembuangan panas dari absorber. Tanpa dilakukannya proses pembuangan panas, maka kelarutan (solubility) uap refrigeran ke dalam absorben akan rendah. Selanjutnya, larutan tersebut dipompa ke generator.
Dalam perjalanan menuju generator, larutan dilewatkan di dalam penukar kalor untuk meningkatkan temperatur (preheating). Daya pompa yang diperlukan sangat kecil, sehingga dalam perhitungan COP siklus absorpsi, daya ini biasanya diabaikan. Di dalam generator, larutan dipanaskan hingga terjadi pemisahan refrigeran dari larutan. Selanjutnya, uap refrigeran tersebut akan memasuki kondensor. Proses selanjutnya tidak berbeda dengan siklus kompresi uap, yakni kondensasi, penuruan tekanan (melalui mekanisme penghambat aliran – flow restrictor), dan evaporasi.
Dua keuntungan utama penggunaan siklus absorpsi adalah: (1) Siklus ini tidak menggunakan refrigeran yang merusak lapisan ozon dan menimbulkan pemanasan global, dan (2) Siklus ini bisa menggunakan panas buangan, sehingga sangat cocok digunakan dalam siklus kombinasi bersama dengan pembangkitan listrik dan panas/termal. Siklus kombinasi ini sangat berpotensi menghemat energi. Sistem pemanas dan pendingin di Shinjuku, Jepang, diklaim oleh operatornya (Tokyo Gas) bisa menghasilkan penghematan energi pendinginan sebesar 20% (Tokyo Gas, 2002).
Performansi sistem ini bisa didefiniskan dengan cara yang sama seperti halnya dalam siklus kompresi uap, yakni:
(3)
Namun karena daya pompa siklus ini umumnya sangat kecil dibandingkan dengan komponen yang lain, maka WPump seringkali dihilangkan dari Persamaan (3). Dalam aplikasinya, performa (COP) siklus absorpsi masih lebih rendah bila dibandingkan dengan siklus kompresi uap. Dalam artikel reviewnya, Shrikhirin (2001) menjelaskan beberapa teknik yang bisa digunakan untuk meningkatkan prestasi siklus absorpsi.
Holmberg dan Berntsson (1990) menerangkan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi oleh fluida kerja (campuran antara refrigeran dan absorben), yakni:
1.Perbedaan titik didih antara refrigeran dan larutan pada tekanan yang sama (boiling elevation) haruslah sebesar mungkin.
2.Refrigeran perlu memiliki panas penguapan yang tinggi dan konsentrasi yang tinggi di dalam absorben untuk menekan laju sirkulasi larutan diantara absorber dan generator per-satuan kapasitas pendinginan.
3.Memiliki sifat-sifat transport, seperti viskositas, konduktivitas termal, dan koefisien difusi, yang baik sehingga dapat menghasilkan perpindahan panas dan massa yang juga baik.
4.Baik refrigeran dan absorbennya harus bersifat non-korosif, ramah lingkungan, dan murah.
Kriteria lain untuk fluida kerja sistem absorpsi serupa dengan kriteria untuk refrigeran siklus kompresi uap, seperti stabil secara kimiawi, tidak beracun, tidak mudah terbakar, dan tidak mudah meledak. Hingga saat ini, fluida kerja yang paling banyak digunakan di dalam sistem refrigerasi absorpsi adalah Air/NH3 dan LiBr/Air (Srikhirin dkk., 2001).
Refrigerasi Adsorpsi Padatan (solid adsorption)
Efek pendinginan pada siklus solid adsorption menggunakan prinsip yang sama dengan sistem refrigerasi lainnya: bahwa proses evaporasi memerlukan suplai energi (menyerap energi). Proses adsorpsi melibatkan pemisahan suatu zat dari cairan dan pengakumulasiannya pada permukaan sebuah zat padat. Zat yang menguap dari fasa cair disebut sebagai adsorbat, sedangkan zat padat yang menyerap adsorbat disebut sebagai adsorben. Molekul-molekul yang diserap oleh adsorben bisa dilepaskan kembali dengan cara memanaskan adsorben; dengan demikian proses ini bersifat reversibel. Terdapat dua macam adsorben, yakni hydrophilic seperti gel silika, zeolit dan alumina aktif atau alumina berpori; dan hydrophobic seperti karbon aktif, polimer dan silikat (Sumathy dkk., 2003). Adsorben hydrophilic memiliki kemampuan ikat yang tinggi dengan zat yang bersifat polar (seperti air), sedangkan adsorben hydrophobic dengan zat yang bersifat non-polar (seperti minyak).
Gambar 2 Diagram Clapeyron untuk siklus adsorpsi ideal
Siklus adsorpsi dasar bisa dilihat pada Gambar 5. Siklus ideal dimulai dari titik A: adsorben berada pada temperatur rendah, TA, dan tekanan rendah, PE (tekanan evaporasi). A – B menunjukkan pemanasan adsorben bersamaan dengan adsorbat. Pada saat ini, wadah adsorben (kolektor) dihubungkan dengan kondensor. Pemanasan lanjut pada adsorben dari B ke D menyebabkan sebagian adsorbat mengalami desorpsi dan selanjutnya uapnya terkondensasi di kondensor (titik C). Pada saat adsorben mencapai temperatur maksimum, TD, proses desorpsi berhenti. Selanjutnya cairan adsorbat dikirimkan ke evaporator dari C ke E; kemudian kolektor ditutup dan mendingin. Penurunan temperatur dari D ke F menyebabkan penurunan tekanan dari PC ke PE. Setelah kolektor dihubungkan dengan evaporator; evaporasi dan adsorpsi terjadi pada saat adsorben didinginkan dari temperatur F ke A. Efek pendinginan muncul pada saat terjadinya evaporasi adsorbat.
Dibandingkan dengan siklus kompresi uap, prestasi siklus adsorpsi jauh lebih kecil. Sumathy dkk. (2003) menjelaskan beberapa modifikasi yang perlu dilakukan pada siklus adsorpsi untuk meningkatkan prestasi siklus tersebut. COP tertinggi siklus adsorpsi yang didata oleh Sumathy dkk. (2003) adalah 1,06. Beberapa peneliti telah menyelidiki aplikasi siklus adsorpsi di berbagai bidang, seperti pengkondisian udara di dalam kabin masinis (Lu dkk., 2004; Wang dkk., 2006a), refrigerator tenaga surya untuk gedung (Lemmini dan Errougani, 2005), pendingin air (Liu dkk., 2005), dan pembuat es (ice maker) untuk kapal nelayan (Wang dkk., 2006b).
Refrigerasi Efek Magnetokalorik
Efek magnetokalorik, yang merupakan sifat intrinsik seluruh material magnetik, menyebabkan material yang bersifat magnetik akan membuang panas dan tingkat entropi magnetiknya turun pada saat dikenai medan magnet secara isotermal. Efek yang berkebalikan akan terjadi manakala medan magnet dihilangkan. Dengan demikian, efek magnetokalorik ini bisa digunakan untuk mendinginkan suatu zat. Prinsip ini telah digunakan dalam refrigerasi kriogenik sejak tahun 1930-an (Yu dkk., 2003). Refrigerasi magnetik dipandang sebagai teknologi hijau (green technology) yang memiliki potensi untuk menggantikan siklus konvensional kompresi uap. Efisiensi refrigerasi magnetik bisa mencapai 30 – 60% terhadap siklus Carnot, sedangkan siklus kompresi uap hanya mencapai 5 – 10% terhadap siklus Carnot (Yu dkk., 2003). Oleh karena itu, refrigerasi magnetik diperkirakan memiliki potensi yang bagus di masa mendatang.
Siklus dasar refrigerasi magnetik adalah siklus Carnot magnetik, siklus Stirling magnetik, siklus Ericcson magnetik, dan siklus Brayton magnetik. Mekanisme kerja siklus refrigerasi magnetik, misalnya siklus Ericcson magnetik, dijelaskan di bawah ini (lihat juga Gambar 6).
1.Proses magnetisasi isothermal (A-B). Pada saat terjadi kenaikan medan magnet (dari H0 ke H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator untuk menjaga refrigeran dalam keadaan isotermal. Note: yang dimaksud dengan refrigeran adalah material magnetik itu sendiri.
2.Proses pendinginan pada medan-konstan (B-C). Pada keadaan medan magnet konstan (H1), panas dipindahkan dari refrigeran magnetik ke fluida regenerator.
3.Proses demagnetisasi isotermal (C-D). Pada saat medan magnet diturunkan (dari H1 ke H0), panas diserap dari fluida regenerator ke refrigeran magnetik untuk menjaga kondisi isotermal pada refrigeran.
4.Proses pemanasan pada medan-konstan (D-A). Temperatur akhir refrigeran magnetik kembali ke kondisi semula (A).
Gambar 3 Diagram siklus Ericcson magnetik. Pada gambar tersebut, S dan T masing-masing adalah entropi dan temperatur.
Beberapa peneliti mengeksplorasi kemungkinan penggunaan refrigerasi magnetik sebagai pengganti sistem refrigerasi konvensional. Pada 1976, di Lewis Research Center of American National Aeronautics and Space Administration, Brown menggunakan logam tanah jarang (rare-earth metal) gadolinium (Gd) sebagai refrigeran magnetik untuk refrigerasi pada temperatur ruang (Yu dkk., 2003). Dengan menambahkan berbagai variasi silika dan germanium ke latis (lattice) kristal gadolinium, Vitalij Pecharsky dan Karl Gschneidner dari the Ames Laboratory di Iowa State University menemukan jenis material baru yang bisa mendinginkan dua hingga enam kali lebih banyak dalam siklus magnetik tunggal, yang berarti bahwa mesin refrigerasi ini bisa menggunakan medan magnet yang lebih lemah atau material yang lebih kecil (Glanz, 1998).
Dengan memadukan refrigeran magnetik Gd5Ge2Si2 dan sejumlah kecil besi, Provenzano dkk. (2004) melaporkan bahwa mereka bisa mengurangi kehilangan histerisis (yang menyebabkan refrigeran magnetik kurang efisien) hingga 90%. Selain menggunakan paduan berbasiskan gadolinium, Tegus dkk. (2002) menggunakan refrigeran magnetik berbasiskan logam transisi, MnFeP0.45,As0.55, untuk refrigerasi pada temperatur ruang dengan hasil refrigerasi yang secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan Gd5Ge2Si2. Namun demikian, saat ini pengembangan refrigerasi magnetik pada temperatur ruang masih belum matang. Yu dkk. (2003) menekankan bahwa kesulitan utama dalam pengembangan refrigerasi magnetik adalah: (1) Diperlukannya material magnetik dengan efek magnetokalorik yang besar, (2) Diperlukannya medan magnet yang kuat, dan (3) Diperlukannya sifat regenerasi dan perpindahan panas yang istimewa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar